
Menangkap Peluang Hilirisasi Rempah Indonesia
Repost - antaranews.com
Kuntoro Boga Andri Kepala BRMP Perkebunan, Kementan
Jakarta (ANTARA) - Indonesia pernah menjadi pusat rempah dunia, puncak kejayaan yang menuntun armada bangsa-bangsa Eropa berlayar menembus samudra demi cengkeh Maluku, pala Banda, dan lada Sumatera.
Ironisnya, setelah berabad-abad berlalu, sebagian besar rempah Nusantara masih keluar negeri dalam rupa bahan mentah. Berangkat dari keinginan untuk keluar dari jebakan skema “jual bahan mentah” inilah kemudian lahir agenda nasional hilirisasi rempah.
Pemerintah kini mematok rempah sebagai garda depan kebangkitan industri dan perdagangan global, dengan tujuan jelas, yaitu mendongkrak devisa sekaligus menaikkan kesejahteraan jutaan petani kecil.
Di tingkat nasional, hilirisasi ditempatkan sebagai kebijakan prioritas industrialisasi. Program lintas-kementerian Indonesia Spice Up The World (ISUTW) yang diluncurkan tahun 2021 menargetkan ekspor bumbu olahan 2 miliar dolar AS dan 4.000 restoran Indonesia di mancanegara.
Kementerian Perdagangan memfasilitasi festival, pameran, hingga negosiasi FTA, PTA, dan CEPA agar bumbu siap saji, minyak esensial, maupun oleoresin produksi domestik kian mulus menembus pasar global.
Di hulu, Kementerian Pertanian memperkuat kualitas benih dan pascapanen. Sementara itu Kementerian Perindustrian menyiapkan road map peningkatan kapasitas industri kecil dan menengah (IKM) rempah, dari teknologi pengeringan, penggilingan, destilasi, sampai penjaminan mutu agar produk Nusantara mampu bersaing di ritel premium dan segmen horeka (hotel, restoran, kafe) dunia.
Aksi serupa bergema di daerah. Sumatera Barat, penyumbang 90 persen gambir dunia, tengah merampungkan Peraturan Gubernur tentang Tata Niaga Gambir untuk mengakselerasi produksi tanin dan katekin berkelas industri.
Lampung menggulirkan proyek Lada Lestari sambil menyiapkan pabrik oleoresin lada hitam. Maluku, Maluku Utara, dan Papua menggelar expo jalur rempah demi mengangkat pala, cengkeh, dan vanili endemik.
Seluruh dorongan regulatif ini bermuara pada cita-cita hilirisasi terpadu dari kebun petani sampai industri dan pasar global.
Industri Pengolahan Rempah
Modernisasi lini pengolahan, mulai dari mesin pengering, grinder, hingga kemasan kedap udara, menjadi kunci pengerek nilai tambah rempah Nusantara. Di sentra‐sentra pengolahan, pekerja kini tidak sekadar menjemur dan menimbang lada hitam, tetapi menyeleksi butir, menggiling, lalu mengemasnya dalam sachet bermerek yang memenuhi standar HACCP.
Transformasi teknologi ini menandai pergeseran paradigma, yaitu rempah harus diproses prima di tanah air sebelum melanglang ke pasar global.
Di Sumatera Utara, andaliman atau “merica Batak” yang dahulu hanya dijual segar, telah diolah UMKM Intan Damanik menjadi teh andaliman kemasan seharga Rp28.000 per 24 gram, berlipat ganda dari harga jual bahan mentah.
Kisah serupa tampak pada kemiri, kunyit, hingga jahe instan, menjadi bukti bahwa hilirisasi mampu melipatkan pendapatan petani sekaligus membuka ceruk pasar baru, meski produksi masih terbatas oleh peralatan sederhana dan skala usaha yang kecil.
Namun, sebagian besar komoditas strategis seperti pala, cengkeh, kayu manis, masih berhenti pada pengeringan dan sortasi. Minyak atsiri pala, oleoresin cengkeh, hingga bubuk kayu manis belum digarap optimal karena investasi alat ekstraksi mahal, pasokan bahan baku tak stabil, dan preferensi importir yang masih condong pada bahan mentah.
Di Lampung, rencana pabrik oleoresin lada tersendat oleh fluktuasi produksi. Pelaku industri pun mengusulkan model multi‐spice extractor agar utilitas pabrik terjaga sepanjang tahun dan risiko pasokan terkelola.
Untuk menutup celah itu, pemerintah dan lembaga riset mempercepat pelepasan varietas unggul, pendampingan Good Agricultural Practices, restrukturisasi mesin IKM, hingga program kemasan dan sertifikasi halal–HACCP. Skema koperasi modern dan korporatisasi petani, seperti KSU Bangkit Mandiri pengolah gambir katekin di Sumatera Barat, membuktikan integrasi hulu-hilir dapat lahir dari level komunitas.
Ke depan, sinergi pemerintah, swasta, peneliti, dan petani harus dipacu agar rempah olahan Indonesia tampil sebagai produk premium yang aman, konsisten, dan berdaya saing di etalase dunia.
Potensi Ekspor
Di tengah tren global menuju gaya hidup sehat dan konsumsi alami, prospek rempah dan bumbu olahan Indonesia semakin menjanjikan. Permintaan dunia terhadap produk spice dan herb diperkirakan menembus 25,6 miliar dolar AS pada 2029 dengan pertumbuhan 5,18 persen per tahun.
Jahe, kunyit, sereh, dan rempah khas Nusantara lainnya makin dicari sebagai bahan pangan, suplemen, maupun produk herbal. Indonesia, yang kini berada di posisi 10 besar eksportir rempah global dengan pangsa pasar 2,7 persen, memiliki peluang besar untuk memperluas cakupan ekspor, terutama melalui hilirisasi produk.
Pangsa ini tergolong kecil dibanding kapasitas Indonesia sebagai produsen rempah utama dunia, menandakan potensi yang masih belum tergarap secara optimal.
Secara kinerja, ekspor rempah Indonesia mulai menunjukkan tren positif. Nilai ekspor bumbu dan rempah olahan tumbuh 17,29 persen pada Januari-Mei 2024, mencapai 422,7 juta dolar AS. Ini menunjukkan kontribusi produk hilir seperti minyak atsiri dan ekstrak makin dominan dalam ekspor nasional.
Komoditas pala dan gambir menjadi contoh keberhasilan, di mana ekspor pala Indonesia sejumlah 26.461 ton pada 2021, menyumbang devisa hampir 198 juta dolar AS. Sementara gambir dari Sumatera Barat mencatat ekspor 90 juta dolar AS pada 2022. Ini menunjukkan bahwa diversifikasi produk dan peningkatan kualitas dapat mendongkrak daya saing di pasar internasional.
Namun, keberhasilan ini tidak lepas dari tantangan berat. Salah satunya adalah standar kualitas dan keamanan pangan yang makin ketat, terutama di Eropa dan Amerika Serikat. Rempah Indonesia sempat ditolak karena isu aflatoksin, kontaminan, dan residu pestisida.
Negara-negara tujuan juga mensyaratkan fumigasi, iradiasi, dan uji laboratorium. Pemerintah memperkuat pengawasan mutu dan mendampingi pelaku usaha untuk memenuhi sertifikasi HACCP, ISO 22000, dan SNI rempah.
Tantangan lain datang dari logistik dan distribusi. Sentra rempah di Maluku, Papua, dan pedalaman Sumatra menghadapi hambatan infrastruktur, yang meningkatkan biaya distribusi.
Di samping tantangan teknis, Indonesia juga menghadapi tekanan kompetitif dari negara lain seperti Vietnam, India, dan Sri Lanka. Vietnam kini unggul dalam ekspor lada olahan, India mendominasi pasar curcumin dan minyak pala.
Untuk bersaing, Indonesia harus menonjolkan keunggulan khas rempahnya, seperti lada hitam Lampung yang pedas harum, kayu manis Kerinci yang kaya sinamaldehid, dan vanili Papua yang premium. Diferensiasi ini perlu diperkuat dengan pengembangan indikasi geografis (IG) dan strategi branding.
Pemerintah pun terus membuka akses pasar melalui perjanjian dagang seperti IA-CEPA yang menghapus bea masuk sejumlah rempah di Australia. Di saat yang sama, inovasi produk harus dipacu, dari ekstrak jahe merah, kunyit organik, hingga oleoresin cengkeh untuk bahan e-cigarette flavor.
Hilirisasi rempah bukan sekadar strategi ekonomi, melainkan langkah strategis untuk mengembalikan pamor Indonesia sebagai pusat rempah dunia di era modern.
Dengan dukungan kebijakan yang semakin terstruktur, kemajuan teknologi pengolahan, dan promosi yang agresif ke pasar internasional, peluang Indonesia untuk meningkatkan nilai ekspor rempah sekaligus menyejahterakan petani kian terbuka lebar.